Taaruf Rasulullah Dan Siti Khodijah
"APABILA datang
laki-laki (untuk meminang) yang kamu ridhoi agamanya dan akhlaknya maka
nikahkanlah dia, dan bila tidak kamu lakukan akan terjadi fitnah di
muka bumi dan kerusakan yang meluas." (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
“Aku menyukaimu karena kebaikanmu. Karena kejujuranmu dan karena keindahan karakter dan kebenaran kata-katamu.”
Kalimat di atas adalah kutipan ungkapan Siti Khadijah pada Nabi
Muhammad saat Rasulullah menerima tawaran Khadijah untuk menikah
dengannya seperti diceritakan dalam salah satu kitab biografi Nabi yaitu
Siratu Rasulillah karya Ibnu Ishaq.
Siapakah khadijah?
Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan,
hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy
khususnya, dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia
banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau
melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar
negeri.
Banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup
membayar mas kawin berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu
ditolaknya dengan halus kerana tak ada yang berkenan di hatinya.
Bermimpi melihat matahari turun kerumahnya
Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun dari
langit, masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya merata
kesemua tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang luput
dari sinarnya.
Mimpi itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin
Naufal. Dia seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan
mimpi dan ahli tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga
mempunyai pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi
terdahulu.
Waraqah berkata: “Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau
akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman.” “Nabi itu berasal
dari negeri mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh. “Dari kota Makkah
ini!” ujar Waraqah singkat. “Dari suku mana?” “Dari suku Quraisy juga.”
Khadijah bertanya lebih jauh: “Dari keluarga mana?” “Dari keluarga Bani
Hasyim, keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur.
Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan
terakhir: “Siapakah nama bakal orang agung itu, hai sepupuku?” Orang tua
itu mempertegas: “Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!”
Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa
gembiranya. Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka
sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah
gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.
Lamaran dari khadijah kepada Rasulullah s.a.w
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata
Khadijah: “Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!” (Suaranya
ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu harga
dirinya)
Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti.
Muhammad SAW: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam
rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh
bagi anak saudaranya yang yatim piatu”
(Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban)
Khadijah: “Oh, itukah….! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan
apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan,”.
“Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri
bagimu”.(Ia berhenti sejenak, meneliti).
Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat
Khadijah: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan
Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan
pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku
hendak membawamu”.
khadijah (Khadijah tertunduk lalu melanjutkan): “Tetapi sayang,
ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka
dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam,
sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan
jawapan, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah r.a tak
dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu,
pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin
itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh
Khadijah r.a.
Rasulullah SAW minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada Pamannya.
Rasulullah SAW: “Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata
Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan
itu “anu dan anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya
itu.
‘Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan
yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan
Bani Hasyim. Katanya: “Muhammad, kalau benar demikian, aku akan
mendatanginya”.
‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya:
“Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka
kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina
puteraku, anak saudaraku Muhammad?”
Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa
kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan
mendamaikan hati ‘Atiqah:
Khadijah : “Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan
sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang
kumaksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah
dengannya; kalau tidak,aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati”.
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat ‘Atiqah
terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi
serius. “Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh
sepupumu Waraqah bin Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan: “Kalau
belum cobalah meminta persetujuannya.” “Ia belum tahu, tapi katakanlah
kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana.
Jamuan minum, dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis
lamaran”, Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia
yakin Waraqah takkan keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya
akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman.
‘Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam
tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira itu kepada
saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang
menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah “Itu bagus sekali”,
kata Abu Thalib, “tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW
lebih dulu.”
Khadijah yang cantik
Sebelum diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu ia pun telah
menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang
datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan peribadi Khadijah
itu bertanya:
Nafisah : “Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?”
Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”
Nafisah “Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan
nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik,
berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan
menolaknya?”
Rasulullah SAW: “Siapakah dia?” tanya Muhammad SAW.
Nafisah : “Khadijah!” Nafisah berterus terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!”
Usaha Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera utama Bani
Hasyim dan langsung menemui Khadijah r.a, menceritakan kesediaan
Muhammad SAW. Setelah Muhammad SAW menerimapemberitahuan dari
saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah r.a, maka
baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima
belas tahun lebih tua daripadanya.
Betapa tidak setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia
wanita bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan yang utama karena
hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan
dijodohkan dengannya. Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda
umur empat puluh, tapi janda yang masih segar, bertubuh ramping,
berkulit putih dan bermata jeli. Maka diadakanlah majlis yang penuh
keindahan itu.
Hadir Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka
Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi meminang Khadijah
r.a kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia
meminta tempoh untuk berunding dengan wanita yang berkenaan.
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada
Waraqah: “Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW
padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan
dan keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”.
“Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah.
“Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan
harta lelaki. Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,”
demikian Khadijah r.a menyerahkan urusannya.
Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan
bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui
bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan mas
kawin lima ratus dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan
“Ash-Shiddiq”, sahabat akrab Muhammad SAW. sejak dari masa kecil,
memberikan sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan
kebangsawaan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat
istiadat pernikahan agung, apalagi karena yang akan dinikahi adalah
seorang hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a
berlangsung pada hari Jum’at, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan
niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah pamannya
bernama ‘Amir bin Asad.
Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih,
disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut: “Alhamdu Lillaah, segala puji
bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi)
Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar. “Begitupun kita memuji
Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah
Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama
manusia.
“Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan
ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari
mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu
adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat
perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa
dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas
kawin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari
hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
“Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang
dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan
memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman-pengalaman
hebat. “Semoga Allah memberkati pernikahan ini”. Penyambutan untuk
memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai
perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di
pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai
lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan
harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a membuka isi
hati kepada suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua
harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang
terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan,
hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya
ke jalan mana yang engkau redhai !”
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan Dia
(Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kekayaan”. (Adh-Dhuhaa: 8)
Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita.
Dijamin Masuk Syurga
Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW. selama dua puluh enam
tahun, yakni enam belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh
tahun sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya,
bercerai karena kematian. Tahun wafatnya disebut “Tahun Kesedihan”
(‘Aamul Huzni).
Khadijah r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada
Rasulullah SAW. ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang
mendahuluinya. Ketika Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada
peristiwa turunnya wahyu pertama yang disampaikan Jibril ‘alaihissalam,
dimana beliau merasa ketakutan dan menggigil menyaksikan bentuk Jibril
a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah yang pertama dapat mengerti
makna peristiwa itu dan menghiburnya, sambil berkata:
“Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah SWT yang
menguasai diri Khadijah r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi
Pesuruh Allah bagi umat kita. “Allah SWT tidak akan mengecewakanmu.
Bukankah engkau orang yang senantiasa berusaha untuk menghubungkan tali
persaudaraan? Bukankah engkau selalu berkata benar? Bukankah engkau
senantiasa menyantuni anak yatim piatu, menghormati tamu dan mengulurkan
bantuan kepada setiap orang yang ditimpa kemalangan dan musibah?”
Khadijah r.a membela suaminya dengan harta dan dirinya di dalam
menegakkan kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya dalam duka derita
yang dialaminya dari gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap
kebenaran agama Islam, menangkis segala serangan caci maki yang
dilancarkan oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan Quraisy. Layaklah
kalau Khadijah r.a mendapat keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh
wanita-wanita lain yaitu, menerima ucapan salam dari Allah SWT. yang
disampaikan oleh malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah SAW. disertai
salam dari Jibril a.s peribadi untuk disampaikan kepada Khadijah
radiallahu ‘anha serta dihiburnya dengan syurga.
Kesetiaan Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW
kepadanya tanpa terbatas. Nabi SAW pernah berkata: “Wanita yang utama
dan yang pertama akan masuk Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid,
Fatimah binti Muhammad SAW., Maryam binti ‘Imran dan Asyiah binti
Muzaahim, isteri Fir’aun”.
Wanita Terbaik
Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW.
terhadap peribadi Khadijah r.a ialah: “Dia adalah seorang wanita yang
terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang
lain masih dalam kebimbanga, dia telah membenarkan aku di saat orang
lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika
orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan
bagiku beberapa putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri
yang lain”.
Putera-puteri Rasulullah SAW. dari Khadijah r.a sebanyak tujuh
orang: tiga lelaki (kesemuanya meninggal di waktu kecil) dan empat
wanita. Salah satu dari puterinya bernama Fatimah, dinikahkan dengan Ali
bin Abu Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan dari kedua
pasangan inilah yang dianggap sebagai keturunan langsung dari Rasulullah
SAW.
Perjuangan Khadijah
Tatkala Nabi SAW mengalami rintangan dan gangguan dari kaum
lelaki Quraisy, maka di sampingnya berdiri dua orang wanita. Kedua
wanita itu berdiri di belakang da’wah Islamiah, mendukung dan bekerja
keras mengabdi kepada pemimpinnya, Muhammad SAW : Khadijah bin Khuwailid
dan Fatimah binti Asad. Oleh karena itu Khadijah berhak menjadi wanita
terbaik di dunia. Bagaimana tidak menjadi seperti itu, dia adalah Ummul
Mu’minin, sebaik-baik isteri dan teladan yang baik bagi mereka yang
mengikuti teladannya.
Khadijah menyiapkan sebuah rumah yang nyaman bagi Nabi SAW
sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika merenung di
Gua Hira’. Khadijah adalah wanita pertama yang beriman kepadanya ketika
Nabi SAW berdoa (memohon) kepada Tuhannya. Khadijah adalah sebaik-baik
wanita yang menolongnya dengan jiwa, harta dan keluarga. Peri hidupnya
harum, kehidupannya penuh dengan kebajikan dan jiwanya sarat dengan
kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika
orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan
dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku
apa-apa.”
Kenapa kita bersusah payah mencari teladan di sana-sini,
padahal di hadapan kita ada “wanita terbaik di dunia,” Khadijah binti
Khuwailid, Ummul Mu’minin yang setia dan taat, yang bergaul secara baik
dengan suami dan membantunya di waktu berkhalwat sebelum diangkat
menjadi Nabi dan meneguhkan serta membenarkannya.
Khadijah mendahului semua orang dalam beriman kepada
risalahnya, dan membantu beliau serta kaum Muslimin dengan jiwa, harta
dan keluarga. Maka Allah SWT membalas jasanya terhadap agama dan
Nabi-Nya dengan sebaik-baik balasan dan memberinya kesenangan dan
kenikmatan di dalam istananya, sebagaimana yang diceritakan Nabi SAW,
kepadanya pada masa hidupnya.
Ketika Jibril A.S. datang kepada Nabi SAW, dia berkata :”Wahai,
Rasulullah, inilah Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi
kuah dan makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan
salam kepadanya dari Tuhannya dan aku, dan beritahukan kepadanya tentang
sebuah rumah di syurga dari mutiara yang tiada keributan di dalamnya
dan tidak ada kepayahan.” [HR. Bukhari dalam "Fadhaail Ashhaabin Nabi
SAW. Imam Adz-Dzahabi berkata:"Keshahihannya telah disepakati."]
Bukankah istana ini lebih baik daripada istana-istana di dunia,
hai, orang-orang yang terpedaya oleh dunia ? Sayidah Khadijah r.a.
adalah wanita pertama yang bergabung dengan rombongan orang Mu’min yang
orang pertama yang beriman kepada Allah di bumi sesudah Nabi SAW.
Khadijah r.a. membawa panji bersama Rasulullah SAW sejak saat pertama,
berjihad dan bekerja keras. Dia habiskan kekayaannya dan memusuhi
kaumnya. Dia berdiri di belakang suami dan Nabinya hingga nafas
terakhir, dan patut menjadi teladan tertinggi bagi para wanita.
Betapa tidak, karena Khadijah r.a. adalah pendukung Nabi SAW
sejak awal kenabian. Ar-Ruuhul Amiin telah turun kepadanya pertama kali
di sebuah gua di dalam gunung, lalu menyuruhnya membaca ayat-ayat Kitab
yang mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Kemudian dia menampakkan
diri di jalannya, antara langit dan bumi. Dia tidak menoleh ke kanan
maupun ke kiri sehingga Nabi SAW melihatnya, lalu dia berhenti, tidak
maju dan tidak mundur. Semua itu terjadi ketika Nabi SAW berada di
antara jalan-jalan gunung dalam keadaan kesepian, tiada penghibur,
teman, pembantu maupun penolong.
Nabi SAW tetap dalam sikap yang demikian itu hingga malaikat
meninggalkannya. Kemudian, beliau pergi kepada Khadijah dalam keadaan
takut akibat yang didengar dan dilihatnya. Ketika melihatnya, Khadijah
berkata :”Dari mana engkau, wahai, Abal Qasim ? Demi Allah, aku telah
mengirim beberapa utusan untuk mencarimu hingga mereka tiba di Mekkah,
kemudian kembali kepadaku.” Maka Rasulullah SAW menceritakan kisahnya
kepada Khadijah r.a.
Khadijah r.a. berkata :”Gembiralah dan teguhlah, wahai, putera
pamanku. Demi Allah yang menguasai nyawaku, sungguh aku berharap engkau
menjadi Nabi umat ini.” Nabi SAW tidak mendapatkan darinya, kecuali pe
neguhan bagi hatinya, penggembiraan bagi dirinya dan dukungan bagi
urusannya. Nabi SAW tidak pernah mendapatkan darinya sesuatu yang
menyedihkan, baik berupa penolakan, pendustaan, ejekan terhadapnya atau
penghindaran darinya. Akan tetapi Khadijah melapangkan dadanya,
melenyapkan kesedihan, mendinginkan hati dan meringankan urusannya.
Demikian hendaknya wanita ideal.
Itulah dia, Khadijah r.a., yang Allah SWT telah mengirim salam
kepadanya. Maka turunlah Jibril A.S. menyampaikan salam itu kepada Rasul
SAW seraya berkata kepadanya :”Sampaikan kepada Khadijah salam dari
Tuhannya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :”Wahai Khadijah, ini Jibril
menyampaikan salam kepadamu dari Tuhanmu.” Maka Khadijah r.a. menjawab
:”Allah yang menurunkan salam (kesejahteraan), dari-Nya berasal salam
(kesejahteraan), dan kepada Jibril semoga diberikan salam
(kesejahteraan).”
Sesungguhnya ia adalah kedudukan yang tidak diperoleh seorang
pun di antara para shahabat yang terdahulu dan pertama masuk Islam serta
khulafaur rasyidin. Hal itu disebabkan sikap Khadijah r.a. pada saat
pertama lebih agung dan lebih besar daripada semua sikap yang mendukung
da’wah itu sesudahnya. Sesungguhnya Khadijah r.a. merupakan nikmat Allah
yang besar bagi Rasulullah SAW. Khadijah mendampingi Nabi SAW selama
seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah,
menolongnya di waktu-waktu yang sulit, membantunya dalam menyampaikan
risalahnya, ikut serta merasakan penderitaan yang pahit pada saat jihad
dan menolong- nya dengan jiwa dan hartanya.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika
orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang
mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang
tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan
mengharamkan bagiku anak dari selain dia.” [HR. Imam Ahmad dalam
"Musnad"-nya, 6/118]
Diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah r.a., dia
berkata :”Jibril datang kepada Nabi SAW, lalu berkata :”Wahai,
Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah,
makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya
salam dari Tuhan-nya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di
syurga, (terbuat) dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan
tiada kepayahan.” [Shahih Bukhari, Bab Perkawinan Nabi SAW dengan
Khadijah dan Keutamaannya, 1/539]
rujukan:Tokoh-tokoh Wanita di Sekitar Rasulullah SAW karangan Muhammad Ibrahim Saliim