Salah Kaprah Soal Jilbab

Tak hanya di AS, di negara sekuler lain gema larangan jilbab terus dikumandangkan. Bahkan, sudah menjadi aturan baku dalam undang-undang Negara. Ironisnya, larangan itu mulai menjalas ke Negara-Negara Arab.
Tahun 1981, Tunisia meratifikasi UU No 108 yang melarang jilbab di lembaga pemerintahan. Ribuan muslimah pun dipecat dari pegawai pemerintahan dan pusat-pusat pendidikan.
Tahun 1997, Presiden Turki Ahmad Necdet Sezer, mengeluarkan dekrit melarang jilbab di institusi pemerintahan, sekolah dan universitas. Terjadilah diskriminasi terhadap muslimah. Wanita berjilbab tajk di izinkan meliput konferensi pers di lembaga pemerintahan.
Tahun 2004, Perancis mengeluarkan UU anti-jilbab bagi pelajar dan mahasiswi di sekolah dan kampus. Alasannya, untuk menjaga kesekuleran Perancis. Desember 2006, Belanda melarang burqa secara nasional. Juni 2006, Jerman juga melakukan aksi pelarangan Jilbab. Delapan dari 16 Negara bagian menerapkan larangan jilbab di sekolah-sekolah umum.
Oktober 2006, Nigeria melarang jilbab di sekolah. Bahkan, melarang anak laki-laki memakai celana panjang dan peci. Pada 2006, Tunisia ‘mengharamkan’ jilbab di sekolah, kampus dan rumah sakit.
Di Kosovo, 29 Agustus 2011 dikeluarkan larangan jilbab dan pengajaran agama islam di sekolah-sekolah. Keputusan ini didemo 2000 muslim. Tahun 2011, Suriah melarang wanita berjilbab mendaftar perguruan tinggi, melarang guru berjilbab mengajar di sekolah-sekolah.
Negara arab lainnya, seperti Tunisia, Yordania, Mesir dan Uni Emirat Arab juga melarang cadar karena alasan keamanan menyangkut identitas.
Bukan Teroris
Sudah enam tahun sejak ditetapkannya 4 September sebagai hari Solidaritas Jilbab Internasional pada 2005. Namun, upaya diskriminasi dan pelarangan jilbab tetap marak. Jilbab di anggap simbol agama bahkan bisa mencelakai orang. Sama bahayanya dengan teroris.Padahal jilbab bukan seperti rokok, yang jika orang ikut menghisap asapnya, lambat laun bisa terancam kematian. Nah, jika rokok saja bisa diterima masyarakat dunia, kenapa jilbab dihina? Di sinilah letak ketidakadilannya. Dan itu tak mengherankan, karena jilbab adalah simbol kebangkitan umat Islam.
Sejak lama, masyarakat kafir Barat ketar-ketir dengan potensi kebangkitan umat Islam. Salah satu fenomena yang menjadi petunjuk bangkitnya ideologi Islam adalah Jilbab. Ya, hanya Muslimah yang memahami Islam dengan benar, menyeluruh, dan berusaha menjadi Muslimah kaffah yang bersedia mengenakan jilbab.
Pasalnya, konsekuensi mengenakan pakaian takwa ini sungguh tidak ringan. Terlebih berjilbab di negara-negara sekuler, sarat tantangan dan hambatan. Sangat tidak mungkin dilakukan Muslimah yang keislamannya biasa-biasa saja, melainkan hanya mereka yang militan. Inilah mengapa jilbab terus diserang. Sebab jika dibiarkan eksis, itu sama saja dengan memberi jalan tegaknya ideologi Islam dan membiarkan sekulerime roboh di rumahnya sendiri.
Identitas Sejati
Berkaca pada muslimah di barat yang begitu istiqomah mempertahankan jilbabnya, kita di sini hendaknya bersyukur. Berjilbab sangatlah mudah, bahkan belakangan ini busana muslimah menjadi tren.Namun bukan sekedar tren, jilbab adalah identitas sejati Muslimah. Bukan sekadar symbol keagamaan. Ya, jilbab adalah jalan ketakwaan, bukti ketundukan sebagai hamba Allah SWT. Jilbab pertanda keimanan.
Mungkin kita sering mendengar sindiran “bagaimana mau berjilbab, kelakuannya saja masih ugal-ugalan.” Atau ada yang mengatakan “ah, Aisyah itu berjilbab, tetapi bicaranya suka menyakitkan hati.” Juga ada yang berujar “nggak penting menutup aurat, yang penting hatinya baik.”
Memang benar, seorang wanita berjilbab dan kerudung, bisa jadi belum memiliki hati suci sempurna. Tak sedikit jilbaber yang memiliki perangai kurang menyenangkan (dalam pandangan beberapa orang). Tetapi, setiap wanita yang memiliki kecantikan hati, akan terpanggil berjilbab dan berkerudung. Logikanya, jika jilbaber saja belum berperangai sempurna, terlebih mereka yang tidak menutup aurat.
Kiblat Tren
Muslimah di Indonesia adalah kiblat dunia. Termasuk caranya berpakaian. Untuk itu perlu diluruskan salah kaprah soal jilbab. Kebanyakan “jilbab” didefinisikan sebagai kerudung penutup kepala. Padahal, definisi jilbab yang benar adalah baju terusan yang mengulur dari tubuh bagian atas hingga dasar(bawah). Orang Indonesia menyebutnya gamis. Jadi, jilbab itu ya gamis.Allah SWT berfirman:
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. “ (Q.S. Al Ahzab 33:59)
Ada kata “ulurkanlah jilbab keseluruh tubuh”, artinya jilbab itu
pakaian penutup tubuh, bukan penutup rambut/kepala. Definisi seperti di
atas, tidak bisa ditukar dengan kerudung (bahasa Arab kerudung adalah
khimar). Logikanya sama dengan definisi kebaya yang tidak bisa ditukar
dengan kemeja. Karena kebaya sudah merujuk pada jenis pakaian tertentu,
demikian pula kemeja.Itu sebabnya, perintah menutup tubuh dengan jilbab, beda dengan perintah menutup rambut dengan kerudung. Perintah mengenakan kerudung sendiri ada di dalam nash Al-Quran surat An-Nuur ayat 31:
”Katakanlah kepada wanita yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,..” (An-Nuur:31)
Jadi, khimar alias kerudung harus diulurkan sampai ke dada. Itulah
syarat kerudung yang syar’i. Walhasil, busana Muslimah yang syar’i
adalah jilbab plus kerudung yang diulurkan sampai ke dada. Pemahaman
inilah yang hendanknya kita sampaikan pada dunia sebagai bentuk
solidaritas kita pada jilbab, sekaligus menjadikannya tren global. Insya
Allah, dengan semakin banyak Muslimah berjilbab, permusuhan terhadapnya
akan kandas atas pertolongan Allah SWT.
Datangnya pertolongan Allah itu disyaratkan adanya pertolongan kita kepada agama-Nya. Bahkan sangat penting para aktivis yang ikhlas itu mengerahkan segala kesungguhan dan daya-upayanya, bahkan untuk melipatgandakan upayanya. Hal itu dibarengi dengan kesanggupan menanggung kesulitan, apapun bentuknya. Mereka harus menghiasi diri dengan kesabaran dan keteguhan dalam kebenaran. Mereka harus berpegang teguh dengan mabda’ (ideologi) Islam dan pada metode Rasul Saw. hingga tercapai yang mereka inginkan.
BalasHapus