Ujian Untuk Mengangkat Potensi
Alasan Allah menguji hambanya adalah karena hamba tersebut memiliki
potensi spesifik untuk mengemban ujian tersebut. Maka ketika kita merasa
memiliki banyak permasalahan, yakinilah bahwa kita adalah orang yang
sabar. Ketika kita mendapatkan begitu banyak godaan untuk tidak ikhlas,
maka yakinilah bahwa kita ini adalah orang yang ikhlas. Ketika kita
mendapatkan begitu banyak kenikmatan, jangan lupa bahwa kita adalah
seorang hamba yang pandai bersyukur. Ketika kita menghadapi begitu
banyak pekerjaan melelahkan, yakinilah bahwa kita adalah seorang yang
kuat. Tidak ada alasan untuk mengeluh! Allah menguji hambanya sesuai
dengan kadar kesanggupan seorang hamba.(QS 2:286)
Hanya saja kadang potensi spesifik tersebut tertutupi oleh sifat
kontradiktif yang dominan timbul dalam keseharian seorang hamba.
Kadang-kadang ada hamba tidak sabar menghadapi problematikanya. Dan kita
akui bahwa kuantitas dan kualitas masalah orang tersebut melebihi kita.
Sayang ketidak sabaran menjadi sifat dominannya. Padahal maksud Allah
memberi banyak masalah kepadanya adalah untuk mengangkat potensinya yang
terkubur – atau istilah minangnya ‘batang tarandam’ – oleh sifat
kontradiktif dominan yang biasa tampak padanya. Intinya, orang tersebut
sebenarnya adalah orang yang penyabar, hanya saja penyabar belum menjadi
identitas orang tersebut
Kenyataan tersebut kita dapatkan pada seorang sahabat bernama Ka’ab
bin Malik. Ka’ab adalah seorang sahabat yang tertinggal dalam perang
tabuk, bahkan karena merasa enggan karena sudah tertinggal jauh, Ka’ab
memutuskan untuk tidak ikut serta dalam perang tabuk. Ketiadaan Ka’ab
dalam perang Tabuk membuat gempar para sahabat. Dan ketika pasukan
muslimin telah kembali, Ka’ab diminta menghada Rasulullah untuk
mengemukakan alasan ketidak hadirannya.
Ketika dia harus menghadap Rasulullah, terjadi benturan dilematis
dalam benaknya, antara mengeluarkan kemampuannya: berdalih hingga ia
keluar dari permasalahan tersebut, atau berterus terang. Pada akhirnya
ia berterus terang. Dengarlah pengakuannya, “Ya Rasul, demi Allah,
umpama sekarang ini saya sedang duduk di depan seseorang selain engkau,
pasti saya akan mengutarakan sejuta alasan untuk menyelamatkan diriku.
Saya pandai berdebat Ya Rasul…”
Sejatinya Ka’ab adalah seorang yang jujur, sehingga ia diuji oleh
Allah dalam keadaan dilematis untuk mengungkapkan kejujurannya. Sifat
kontradiktif dominannya adalah – seperti yang telah ia akui – pandai
berdebat. Lihatlah akhirnya potensi kejujuran itu terangkat dan ia
menjadi seorang yang jujur. Itulah buah hasil ujian dari Allah.
“Ya Rasul, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan saya karena
kebenaran pengakuan saya, maka saya berjanji untuk kelanjutan taubatku,
‘Tidak akan berbicara selama hidupku, kecuali pembicaraan itu bicara
yang benar.” Ungkap Ka’ab ketika rangkaian ujian berupa pengasingan
telah berakhir menimpanya.
Maka sadarilah, ketika kita berdo’a “Ya Allah, jadikanlah aku seorang
hamba yang sabar.” Maka Allah mengabulkan do’a kita: Kekuatan ketabahan
kita bertambah. Hanya untuk menjadikan kesabaran itu sebagai sifat
dominan, Allah mengirim rentetan masalah pada kita. Begitu juga ketika
kita meminta pada Allah keikhlasan dalam beramal. Yakinilah Allah
mengabulkan do’a kita dan kekuatan keikhlasan kita bertambah. Dan supaya
keikhlasan itu menjadi identitas kita, maka Allah menurunkan banyak
godaan dalam beramal. Untuk melawan itu semua dikerahkanlah bekal yang
telah Allah tambahkan. Dan jadilah apa yang kita harapkan itu menjadi
identitas kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar